Sunday, January 10, 2010

Posted by blognya ratno

Sebelum diuraikan sejarah dan perkembangan ilmu dalam Islam, ada baiknya diuraikan sedikit tentang padangan Islam terhadap ilmu. Hal ini penting untuk diketahui karena menjadi landasan bagi pengembangan di sepanjang sejarah kehidupan umat Islam, mulai dari zaman klasik sampai saat ini

sejak awal kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa Nabi Muhammad SAW, diutus oleh Allah sebagai Rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, dimana paganisme tumbuh menjadi sebuah identitas yang melekat pada masyarakat Arab masa itu. kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.

Kalau dilacak akar sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah SAW, menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah "membaca". Jibril memerintahkian Muhammad dengan bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata Iqra ini kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaa, mendalami, mneliti, mengetahui ciri sesuatu dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa "membaca" dengan dilandasi Bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.


Selanjutnya ada juga ayat lain yang menyatakan, Katakanlah: apakah sama orang-orang yang mengetahui (berilmu) dengan orang-orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya (hanya) orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadis Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, bahkan begitu pentingnya kalau perlu "carilah ilmu sampai kenegeri cina". Dengan demikian, Alqur'an dan hadis kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam spektrum yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah: pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam Alqur'an. Dan sejauh pemahaman terhadap Alqur'an, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang mungkin tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, Alqur'an dan hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebijakan dan keutamaan menuntut ilmu; pencarian ilmu dalam segi apapun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan Tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan Alqur'an dan Sunnah merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya, Alqur'an dan Sunnah menciptakan Atmosfir khas yang mendorong aktivitas intelektual dalam konformitas dengan semangat Islam.

1. Penyampaian Ilmu dan Filsafat Yunani ke Dunia Islam

Pengalihan pengetahuan ilmiah dan Filsafat Yunani ke dunia Islam, dan penyerapan serta pengintegrasian pengetahuan oleh umat Islam, merupakan sebuah catatan sejarah yang unik. Dalam sejarah peradaban manusia, amat jarang ditemukan suatu kebudayaan asing dapat diterima sedemikian rupa oleh kebudayaan lain, yang kemudian menjadikannya landasan bagi perkembangan intelektual dan pemahaman filosofinya.

Dalam perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia Islam,pada dasarnya terdapat upaya rekonsiliasi - dalam arti mendekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang berbeda, bahkan seringkali ekstrim-antara pandangan filsafat filsafat Yunani, seperti filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan dalam Islam yang seringkali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh konkret dapat disebutkan bahwa Plato dan Aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar pada mazhab-mazhab Islam, khususnya mazhab eklektisisme. Al-farabi, dalam hal ini, memiliki sikap yang jelas karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus bersepakat diantara mereka sepanjang yang menjadi tujuan mereka adalah kebenaran. Bahkan bisa dikatakan para filosof muslim mulai dari Al-Kindi sampai Ibn Rusyd terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan pandangan-pandangan yang relatif barudan menarik. Usaha-usaha mereka pada gilirannya menjadi alat dalam penyebaran filsafat dan penetrasinya ke dalam studi-studi keislaman lainnya, dan tak diragukan lagi upaya rekonsiliasi oleh para filosof Muslim ini menghasilkan afinitas dan ikatan kuat antara filsafat Arab dan Filsafat Yunani.

Selanjutnya, ketika bicara tentang proses penyampaian ilmu dan filsafat Yunani kedunia Islam, kita harus melihat sisi lain yang juga menunjang keberhasilan Islam dalam menemukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sisi lain itu adalah aktivitas penerjemahan. Menurut C.A. Qadir, proses penerjemahan dan penafsiran buku-buku Yunani di negeri-negeri Arab dimulai jauh sebelum lahirnya agama Islam atau penaklukan Timur Dekat oleh bangsa Arab pada tahun 641 M. jauh sebelum umat Islam dapat menaklukkan daerah-daerah di Timur Dekat, pada saat itu Suriah merupakan tempat bertemunya dua kekuasaan dunia, Romawi dan Persia. Atas dasar itu, bangsa Suriah disebut-sebut memainkan peran penting dalam penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat. Di kalangan umat Kristen Suriah, terutama kaum Nestroian, ilmu pengetahuan Yunani dipelajari dan disebarluaskan melalui sekolah-sekolah mereka. Walaupun tujuan utama sekolah-sekolah tersebut menyebarluaskan pengetahuan Injil, namun pengetahuan ilmiah, seperti kedokteran, banyak diminati oleh para pelajar. Sayangnya, pihak gereja memandang ilmu kedokteran itu sebagai ilmu sekular dan dengan demikian posisinya lebih rendah daripada ilmu pengobatan spritual yang merupakan hak isttimewa para pendeta.

Selain itu, pada masa ini juga didapati pusat-pusat pengetahuan seperti Ariokh, Ephesus dan Iskandariah, dimana buku-buku Yunani Purba masih dibaca dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, terutama Siriani, bahkan setelah pusat-pusat itu ditaklukan oleh umat Islam, pengaruh pemikiran Yunani tetap mendalam dan meluas. Pada masa ini juga didapati seorang tokoh Kristen bernama Nestorius, yang melakukan dekontruksi atas pemahaman teologi kalangan Kristen konservatif ortodoks, setelah ia terpengaruh oleh alam pikiran Yunani tersebut. Ia bersama pengikutnya kemudian hijrah ke Suriah dan melanjutkan kegiatan ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani. Kegiatan ini pada gilirannya menghasilkan terjemahan karya filosof Yunani seperti Phorphyrius, diantaranya adalah Isagoge, Catergories, Hermeneutuca dan Analytica Priori. Pusat-pusat ilmu pengetahuan yang dipimpin oleh umat Kristen ini, terus berkembang dengan bebasnya sampai mereka berada di bawah kekuasaan Islam. Hal ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mendukung adanya kebebasan intelektual, tetapi juga membuktikan kecintaan umat islam terhadap ilmu pengetahuan dan sikap hormat mereka kepada ilmuan, tanpa memandang agama mereka.

2. Perkembangan Ilmu Pada Masa Islam Klasik

Sebagaimana telah disinggung diatas bahwa pentingnya ilmu pengetahuan sangat ditekankan oleh Islam sejak awal, mulai masa Nabi sampai dengan Khulafa al-Rasyidun, pertumbuhan dan perkembangan ilmu berjalan dengan pesat seiring dengan tantangan zaman.

Selanjutnya, suatu yang patut dicatat dalam kaitannya dengan perkembangan ilmu dalam Islam adalah peristiwa Fitna al-Kubra, yang yang ternyata tidak hanya membawa konsekuensi logis dari sgi politis an sich seperti yang dipahami selama ini tetapi ternyata juga membawa perubahan besar bagi pertumbuhan ilmu didunia Islam. pasca terjadinya Fitna al-Kubra, muncul berbagai golongan yang memiliki aliran teologis tersendiri yang pada dasarnya berkembang karena alasan-alasan politis. Pada saat itu muncul aliran Syi'ah yang membela Ali, aliran Khawarij, dan kelompok Muawiyah. Namun, diluar konflik yang muncul pada saat itu sejarah mencatat dua orang tokoh besar yang tidak ikut terlibat dalam perdebatan teologis yang cenderung mengkafirkan satu sama lain, tetapi justru mencurahkan perhatiannya pada bidang ilmu agama. Kedua tokoh itu adalah Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Yang disebut pertama mencurahkan perhatiannya dalam bidang ilmu hadis, sementara yang disebut belakangan lebih berorientasi pada ilmu tafsir. Kedua tokoh ini sering disebut sebagai pelopor tumbuhnya institusi keulamaan dalam Islam, sekaligus berarti pelopor kajian mendalam dan sistematis tentang agama Islam. Mereka juga sering disebut sebagai "moyang" golongan Sunni atau Ahl-al-Sunnah wa al-jama'ah.

Seperti sudah disinggung diatas, pasca Fitna al-Kubra bermunculan berbagai aliran politik dan teologi. Dari sini kemudian dapat dikatakan bahwa sejak awal Islam kajian-kajian dalam bidang teologi sudah berkembang, meskipun masih berbentuk embrio. Embrio ini yang pada masa kemudian menemukan bentuknya lebih sistematis dalam kajian-kajian teologis dalam Islam. Sebagai contoh, persoalan tentang hukum orang yang berdosa besar; apakah mu'min atau kafir, masalah kebebasan atau ketidakbebasan manusia dalam menentukan perbuatannya, sudah diwakili sejak dini perdebatan antara kalangan Mu'tazila dan Khawarij. Dari sini tampaknya, seperti ditulis Nasution, peranan akal dalam pergulatan pemikiran dan keilmuan dalam tradisi Islam dimulai.

tahap penting berikutnya dalam proses perkembangan dan tradisi keilmuan Islam ialah masuknya unsur-unsur dari luar kedalam Islam, khususnya unsur-unsur budaya Perso-Semitik (Zoroastrianisme khususnya Mazdaizme, serta Yahudi dan Kristen) dan budaya Hellenisme. Yang disebut belakangan mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran Islam ibarat pisau bermata dua. Satu sisi ia mendukung Jabariyah (antara lain oleh Jahm Ibn Safwan), sedang di sisi lain ia mendukung Qadariyah (antara lain Washil Ibn Atha', tokoh dan pendiri Mu'tazilah). Dari adanya pandangan yang dikotomis antara keduanya kemudian muncul usaha menengahi dengan menggunakan argumen-argumen Hellenisme, terutama filsafat Aristoteles. Sikap menengahi itu terutama dilakukan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy'ari, dan Al-Maturidi yang juga menggunakan unsur Hellenisme.

Berdasarkan uraian diatas, dapat ditarik sebuah hipotesis sementara bahwa pada awal Islam pengaruh Hellenisme dan juga filsafat Yunani terhadap tradisi keilmuan Islam sudah sedemikian kental, sehingga pada saat selanjutnya pengaruh itu pun terus mewarnai perkembangan ilmu pada masa-masa berikutnya.


0 comments:

Post a Comment

google translator
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified